Sabtu, 21 November 2009

RMA- TNI- REVOLUTION IN MILITARY AFFAIRS

ANALISIS ANTISIPASI TNI TERHADAP DAMPAK DAN PENGARUH REVOLUTION IN MILITARY AFFAIRS (RMA).

1. Topik.

Analisis antisipasi TNI terhadap dampak dan pengaruh Revolution in Military Affairs (RMA).

2. Latar Belakang.

RMA (Revolution in Military Affairs) adalah sebuah teori tentang peperangan masa depan, dimana sering dikaitkan dengan kemampuan untuk siap melakukan perubahan terhadap tehnologi dan organisasi yang ditujukan terhadap peperangan. Peperangan masa depan adalah peperangan informasi, network-centric warfare, Komado dan Kendali terintegrasi yang semuanya berbasis tehnologi informasi yang bermuara pada Keamanan Nasional. Negara-negara diseluruh dunia saat ini telah melakukan revolusi tempur karena tindakan ini bukan semata-mata untuk melakukan pertempuran secara konvensional namun telah terjadinya pergeseran yang sangat besar dalam bidang kemiliteran.

RMA (Revolution in Military Affairs) adalah perkembangan cara berpikir para kalangan militer AS yang terjadi karena timbulnya perkembangan teknologi yang dipicu oleh kemajuan teknologi, khususnya teknologi komunikasi termasuk komputer, internet dan teknologi penginderaan jarak jauh (remote sensing), media cetak, media elektronika. Hal ini mengakibatkan perubahan penting dalam komando dan pengawasan, sistim komunikasi, ketepatan dalam suatu penguncian pengantaran penembakan peluru kendali atau senjata modern lainnya dan pengumpulan data, keterangan serta penyebaran informasi yang sifatnya umum dan intelijen.[1]

Kemajuan teknologi yang pesat sangat berpengaruh terhadap dunia militer pada khususnya dan dianggap sedemikian pentingnya sehingga terminologi RMA menjadi suatu langkah baru yang besar sebagai ” Revolusi ” dalam dunia kemiliteran.

RMA memberikan pengaruh dalam perubahan komando dan pengawasan dalam penyebaran kekuatan, gelar pasukan dan berperan penting pada keutuhan komando tetap terjamin oleh komunikasi yang cepat, tepat melalui dukungan kemajuan sarana komputerisasi dan internet.

Hingga kini, belum ada kesepakatan mengenai definisi dari RMA namun setidaknya terdapat tiga pendekatan berbeda yang berusaha menjelaskan pengertian RMA. Salah satunya adalah pendekatan pertama diberikan oleh Alvin dan Heidi Toffler. Toffler bersaudara menyatakan bahwa RMA tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah revolusi karena RMA hanya menambah elemen baru atau membuat sebuah kombinasi baru dari elemen-elemen yang telah ada di dalam sebuah “permainan”. Sementara, yang namanya revolusi merupakan perubahan yang mengubah “permainan” itu sendiri, termasuk aturan-aturan, organisasi, doktrin, pelatihan, taktik dan sebagainya.[2]

Karakteristik dari RMA ini adalah penggunaan teknologi komunikasi dan informasi untuk meningkatkan efektivitas di dalam pertempuran. Efektivitas ini diperoleh dengan melakukan perubahan-perubahan di sejumlah elemen militer, yaitu persenjataan, organisasi dan doktrin, melalui penerapan sistem yang disebut sebagai “system of systems”.[3]

Hasil analisis sementara atas antisipasi TNI terhadap dampak dan pengaruh Revolution in Military Affairs (RMA) dapat berasal dari beberapa sumber, yaitu :

a. Makin banyaknya kekuatan pertahanan di dunia yang menerapkan revolution in military affairs (RMA) sebagai suatu paradigma baru. Penerapan RMA kini tidak lagi hanya dilakukan oleh negara-negara maju, tetapi juga oleh negara-negara berkembang. RMA adalah sesuatu yang tidak bisa ditolak bila ingin menciptakan kekuatan pertahanan yang kuat dan mampu merespon semua situasi, baik masa damai maupun masa konflik. RMA telah pula mewarnai dokumen-dokumen strategis pertahanan banyak negara, di antaranya Freedom to Use the Seas: India’s Maritime Military Strategy. Kalau dipelajari dokumen itu, separuh (50 %) dari isinya itu terkait dengan RMA sebagai paradigma untuk merubah doktrin militer. Pendekatan gambaran ini memberikan proyeksi terhadap kemungkinan perubahan paradigma, doktrin, strategi, struktur organisasi, kebijakan militer sebagai dampak pengaruh RMA di Indonesia disertakan dengan semangat TNI / Dephan sudah bertekad untuk terus membangun kekuatannya menggunakan teknologi terkini.[4]

b. Negara Republik Indonesia merupakan sebagai salah satu negara berkembang yang perlu senantiasa menyesuaikan perkembangan lingkungan strategis yang cenderung kompleks dan dinamis, secara mutlak harus terus menerus memutakhirkan, melakukan updating terhadap kebijakan dan strategi pertahanan negara, dengan demikian perlu adanya analisis yang lebih mendalam sebagai antisipasi dampak dan pengaruh RMA bagi pembangunan dan pengembangan teknologi militer di TNI dan Dephan, kemungkinan terjadinya perubahan militer secara revolusioner yang terkait dengan dengan organisasi dan metode, khususnya yang disebabkan oleh perkembangan Iptek pada abad-21 dan kemungkinan terjadinya RMA di Indonesia ditinjau dari interelasi antara teknologi, manajemen dan militer / pertahanan serta dihadapkan pada relevansinya terhadap strategi sishanta sebagai sarana yang kuat dengan menggunakan potensi sumdanas sebagai kekuatan yang sangat besar sebagai daya tangkal NKRI.

c. Perencanaan memang akan selalu terkait dengan sumber daya, termasuk di dalamnya yaitu anggaran. Permasalahan ini merupakan suatu hukum alam dan mutlak dialami oleh semua negara, baik negara maju maupun berkembang. Sumber daya, seperti digambarkan dalam paradigma Lloyd tentang pembangunan kekuatan, senantiasa akan menjadi constraint dalam perencanaan. Penerapan RMA pada dasarnya bukan persoalan biaya atau anggaran, tapi kemajuan untuk melaksanakan perubahan paradigma. Biaya atau anggaran itu merupakan konsekuensi logis yang harus diterima. Hal yang mendasar yang harus kita pahami yang menjadi suatu penyebab karakter di Indonesia adalah setiap lahirnya suatu ide, perubahan atau kebijakan, hal pertanyaan yang di sangsikan dan menjadi kendala yaitu tentang biaya. Salah satu faktor logisnya karena selama puluhan tahun kita sudah terbentuk menjadi kaum materialistis, sehingga faktor biaya atau anggaran itu merupakan “Segalanya “ sebagai penentu utama dalam setiap pembahasan kita.

3. Analisis.

Batasan tentang Militer dalam sejarah Indonesia menjadi prominent karena terlibat hampir pada setiap agenda-agenda perubahaan politik, perubahan paradigma, doktrin, strategi, struktur organisasi, kebijakan pemerintah dan militer. Argumentasi yang menonjol dikarenakan karakter militer Indonesia dipandang sebagai warrior (tentara penakluk)[5]. Pandangan ini kemudian diinternalisir melalui doktrin SISHANTA (total war) dimana melahirkan konsepsi tentara pejuang dan tentara rakyat. Argumentasi di atas diperkuat oleh realitas kesejarahan perjuangan bangsa dan negara bahwa militer di negara-negara berkembang khususnya Indonesia berbeda dengan negara-negara lainnya, namun di sisi lain Negara Indonesia masih dihadapkan pada permasalahan biaya (dana) keuangan dan anggaran.

a. Pengaruh RMA Terhadap Paradigma, Politik, Doktrin, Strategi, Organisasi, Kebijakan Pemerintah dan Militer.

1) Perkembangan sains dan teknologi sangat berpengaruh kepada pelaksanaan pertahanan negara. Timbulnya Revolution in Military Affairs (RMA) yang terutama disebabkan oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menimbulkan dorongan kepada setiap angkatan bersenjata, termasuk TNI, agar ada usaha pendalaman yang intensif serta spesialisasi dalam berbagai persenjataan, termasuk precision guided munition (PGM), peroketan, persenjataan nuklir, kimia dan biologi. Bagi kita yang menggeluti dunia militer dan banyak dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembang di Amerika Serikat, RMA (revolution in military affairs) bukan suatu hal yang baru lagi, ketika kita menyusun perencanaan ke depan, yang ada di pola pikir kita adalah memperkirakan ancaman atau tantangan apa yang akan dihadapi oleh Angkatan Bersenjata (TNI) dalam jangka waktu 10-20 tahun ke depan, terlebih saat prediksi untuk perkembangan lingkungan strategis 5 tahun ke depan cenderung kompleks.[6]

2) Hubungan antara strategi dengan masa depan adalah sangat erat, secara singkat dan jelas strategi dirancang untuk menyeimbangkan untuk menjawab tantangan saat ini (masa kini) dengan suatu perencanaan yang diproyeksikan pada kemungkinan-kemungkinan alternatif di masa datang, namun pada kenyataannya dalam merancang suatu strategi yang searah pada tataran dan keadaan sistem untuk mampu menjawab tantangan sejalan dengan perkembangan jaman dan perencanaan masa datang merupakan hal yang tidak mudah.

3) Pendekatan strategy of cooperative security, yaitu suatu negara harus aktif menggalang kerjasama keamanan dengan negara-negara lain, minimal negara-negara yang satu kawasan dengannya. Bentuknya bisa berupa pertukaran perwira, latihan bersama, kerjasama intelijen, kerjasama logistik, bahkan combined operations. Force planning-nya pun disesuaikan dengan pendekatan tersebut, yaitu siap beroperasi secara multinasional.

4) TNI perlu membentuk pakar-pakar yang benar-benar memahami masalah pertahanan yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi yang terus maju. Dengan demikian lembaga pendidikan seperti Sekolah Tinggi Teknologi AL dapat dimanfaatkan, sehingga lembaga ini tidak sekedar menyiapkan Perwira TNI mencapai tingkat Sarjana 1, tetapi lebih bersifat satu lembaga pasca-sarjana yang arahnya membentuk berbagai kepakaran sesuai dengan tuntutan yang disebabkan perkembangan sains dan teknologi. Meskipun Indonesia tidak bermaksud menjadi negara yang memiliki senjata nuklir, tetapi Indonesia harus mempunyai kemampuan menghadapi kemungkinan serangan nuklir dari pihak lain, terutama penguasaan pengetahuan tentang senjata mutakhir, biologi dan kimia menjadi amat mendesak.[7]

5) Selama tak ada perubahan paradigma di Departemen Pertahanan, situasinya akan tetap sama, anggaran pertahanan yang terbatas akan selalu dijadikan alasan untuk tidak membangun kekuatan pertahanan yang mahal, khususnya TNI, salah satu kesalahan langkah Departemen Pertahanan dalam pembangunan kekuatan adalah tidak menetapkannya kawasan pelibatan. Berdasarkan perkiraan intelijen, harus ditetapkan di wilayah mana saja dalam 10 tahun ke depan potensial terjadinya konflik militer. Mengadopsi istilah yang dipergunakan oleh para perencana pertahanan di Pentagon (USA), seperti contohnya yaitu harus ditetapkannya Major Theater War (MTW) dan Small Scale Conflict (SSC). Dari beragam potensi konflik di Nusantara (dalam arti konflik militer), wilayah mana saja yang sangat berpotensi munculnya MTW maupun SSC tersebut sesuai data, informasi intelijen.[8]

6) Kemampuan strategi membangun pertahanan kekuatan TNI, perlu pemikiran untuk menyeimbangkan antara ability dan capability dalam menghadapi ancaman atau tantangan simetris dan asimetris, dengan prosentase kemungkinan kecil untuk konflik terbuka dengan Angkatan Bersenjata lain, namun itu bukan berarti kita tidak membangun kekuatan TNI. Bahkan dianggap perlu tetap membangun kekuatan AD, AL dan AU agar NKRI memiliki kemampuan deterrence. Demikian halnya mengenai asimetris, hingga 20 tahun ke depan besar kemungkinan akan lebih banyak menghadapi ancaman atau tantangan dari aktor non negara, seperti perompakan, terorisme maritim dan lain sebagainya, maka oleh sebab itu kemampuan penangkalan harus tetap dilaksanakan. Namun hendaknya kita juga jangan mempersempit batasan asimetris hanya untuk menghadapi aktor non negara. Dengan segala keterbatasannya NKRI harus membangun TNI yang mampu melakukan gelar perang asimetris terhadap aktor negara. Contohnya dari perang asimetris adalah strategi anti akses. AB negara-negara lain boleh jadi lebih kuat daripada kita, akan tetapi kita harus punya strategi pamungkas untuk menahan, menghadapi, melawan “ Fight “ terhadap mereka sebagai agresor. Bahkan harus pula kita kembangkan agar negara-negara di sekitar Indonesia tidak berpikiran “ Under Estimeted “ dalam percaturan dunia.

b. Pengaruh RMA Terhadap Kebijakan Pemerintah dan Militer dalam Penerapan Sishanta Sebagai Kekuatan Total NKRI.

1) Sishanta merupakan strategi NKRI yang menggunakan potensi atau kekuatan pada rakyat untuk membantu pertahanan, bahkan turut berperang dengan mengubah status menjadi kombatan. Dari sini terlihat bahwa sejak awal Sishanta dirancang untuk mempertahankan wilayah kedaulatan NKRI, mengarah pada perspektif strategi kontemporer, konsep Sishanta merupakan strategi pertahanan Indonesia lebih menekankan pada strategy of selective engagement. Pemilihan strategi tersebut nampaknya tak lepas dari semangat kemandirian bangsa. Strategi ini dilakukan oleh berbagai negara negara lain, seperti, Vietnam, Korea, Laos, Burma, bahkan Rusia saat PD II. Dalam Strategi Pertahanan juga mengenal kerjasama pertahanan dengan negara-negara lain, namun lingkup kerjasamanya terbatas dan terlalu tradisional. Dan dalam kerjasama tersebut Indonesia seringkali bukanlah penggagas kerjasama, tetapi lebih sebagai pengikut. Kalaupun menggagas suatu kerjasama, setelah kerjasama berjalan maka peran Indonesia tidak dominan atau menentukan.

2) Merancang suatu strategi harus memiliki tujuan yang jelas dan terfokus oleh karena itu tanpa adanya strategi keamanan nasional yang kokoh, tujuan dan cita-cita bangsa tdk akan terwujud. Strategi pertahanan merupakan turunan dari strategi keamanan nasional, melalui tahapan perancangan strategi dan kemudian melaksanakan force planning, jika dasarnya tidak kokoh maka hasilnya adalah suatu kekuatan pertahanan yang tidak sesuai alias mismatch dengan kepentingan nasional. Hal-hal yang perlu menjadi perhatian bahwa kepentingan nasional yang harus diamankan oleh militer bukan saja soal hidup matinya negara, keutuhan wilayah dan hal-hal lain yang klasik, tetapi juga menyentuh isu-isu kontemporer yang terkait dengan kepentingan nasional.

3) Untuk menyusun strategi (pertahanan dan militer), kita harus mengacu pada kepentingan nasional. Dalam upaya penjabaran kepentingan nasional, salah satu aspek yang harus diperhatikan adalah geopolitik yang merupakan salah satu unsur pembahasan banyak pihak di Indonesia yang sangat minim pemahamannya tentang ujud penerapannya, yang menjadi slogan klasik seperti, Indonesia berada pada silang, posisi strategis dan lain sebagainya, tetapi implementasinya nyaris tidak tersentuh.

4) Sishanta adalah total defense, sedangkan Sishankamrata adalah people defense. Sebab pola pikirnya yang mendasari keduanya pada dasarnya sama, yaitu attrition warfare. Adapun perubahan dari Sishamkamrata menjadi Sishanta sudah pasti terkait perubahan politik 1998 yang antara lain memisahkan antara TNI dengan Polri. Bukti pertama dari konsep attrition warfare adalah asumsi bahwa Indonesia yang merupakan negara kepulauan, sehingga satu-satunya cara berperang adalah melalui attrition warfare, mengandalkan perang berlarut alias protracted war. Menimba dan memandang attrition warfarfare sejenak ke negara luar, seperti Cina yang di masa lalu juga mengandalkan pada attrition warfare lewat perang berlarut kini sudah mengubah strateginya dengan mengandalkan pada penghancuran kekuatan lawan yang masuk wilayah negeri itu (yang dimaksud wilayah bukan hanya daratan) dalam waktu sesingkat-singkatnya. Mengapa Cina mengubah strateginya, sebab para perencana pertahanan di Negeri Mao itu lebih maju pola pikirnya.

c. Pengaruh RMA Terhadap Kebijakan Pemerintah dan Militer dalam Penerapan Perencanaan Biaya dan Anggaran.

1) Terdapat banyak variabel yang harus diperhatikan dalam merancang strategi berikut force planning yang muncul sebagai turunan dari strategi, dari sekian banyak variabel tersebut, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua grup. Yaitu lingkungan keamanan pada satu sisi dan keterbatasan sumber daya pada sisi lain seperti dukungan anggaran.

2) Konsep preventing the war is as important as winning the war apabila ditinjau dari perspektif perencanaan pertahanan merupakan sebuah konsep yang bagus. Banyak alasan untuk menyatakan konsep itu bagus, salah satunya adalah kesiapan menanggung cost yang harus dibayar untuk itu. Tentu saja cost-nya sudah diperhitungkan dengan benar dan berujung pada suatu ‘nilai” atau besaran yang mendekati pasti, mengapa demikian Premis utama dari konsep itu adalah preventing the war. Untuk mencapai tujuan tersebut, digunakan semua instrumen kekuatan nasional. Dengan kata lain, tidak semata mengandalkan kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasional. Untuk preventing the war, sudah pasti ada cost yang harus dibayar ketika semua instrumen kekuatan nasional bekerja. Namun cost itu tentu saja sudah dikalkulasikan.

3) Konsep anggaran untuk preventing the war, instrumen politik / diplomasi akan bekerja pada ranah antar bangsa. Instrumen ekonomi juga demikian, yang bagi kita yang bergelut di ranah strategi militer sulit memahami hutan rimba instrumen ekonomi itu. Instrumen ekonomi bukan sekedar soal penjatuhan sanksi perdagangan, pembatasan ekspor impor, tetapi juga mencakup pengendalian keluar masuk arus modal dan investasi ke negara sasaran. Sasarannya adalah membuat guncangan pada ekonomi negara sasaran, sehingga negara itu tidak melanjutkan langkahnya untuk berperang atau konflik dengan negara atau pihak lain.

4) Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa TNI bekerja dengan dukungan anggaran yang tidak mencapai minimum requirement, dan tidak mengherankan apabila berakibat pada berbagai kekuatan yang sangat kritis untuk memenuhi kebutuhan operasional dan yang terutama dukungan logistic.

5) RMA merupakan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi yang mutakhir bahwa acuan awalnya adalah aspek teknologi, akan tetapi banyak pihak me-ngembangkan RMA sesuai dengan kondisi nyata yang dihadapi, misalnya keterbatas-an finansial. Situasi tersebut memaksa kepada jajaran militer untuk mencari solusi, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas, dengan meninjau doktrin dan organisasi operasional.

6) Terdapat suatu kendala dalam pengembangan RMA di negara Indonesia dalam pemenuhan anggaran militer, salah satunya adalah krisis ekonomi sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan pertahanan di Indonesia.

7) Modernisasi Pertahanan melalui proses reformasi di tubuh Tentara Nasional Indonesia saat ini dinilai oleh beberapa kalangan masih berjalan cukup lambat, terdapat dua penjelasan yang menjadi penyebab kelambatan proses reformasi militer tersebut, yaitu: belum berjalannya proses modernisasi pertahanan dan belum lengkapnya regulasi-regulasi (ketetapan-ketetapan/aturan-aturan) ketatanegaraan yang dibutuhkan untuk menegakkan hubungan sipil-militer yang sehat.

4.

IASA

Hasil/Pengambilan Keputusan.

Analisis menunjukkan keuntungan dan kerugian atas pengambilan keputusan untuk memilih kedua kemungkinan tersebut. Atas beberapa pertimbangan diambil keputusan:

a. Menyikapi hasil analisis pengambilan keputusan konsep paradigma pada tren Revolution Military Affair (RMA) untuk membaca hubungan militer dalam supra struktur ideologi maka terjadi penggabungan elemen ilmu kemiliteran, kemajuan teknologi dengan seni manajemen yang efektif dan efesien. Menggunakan konsep RMA, mengedepankan posisi militer untuk membentuk Satuan Detasemen Gabungan struktur Modern dengan peningkatan kapasitas kemiliteran sebagai konsentrasi kekuatan.

b. Hasil analisis pengambilan keputusan dalam konsep organisasi militer yang dikenal dengan Revolution in Military Affairs (RMA). RMA merupakan sebuah teori tentang peperangan masa depan, dimana sering dikaitkan dengan kemampuan untuk siap melakukan perubahan terhadap tehnologi dan organisasi yang ditujukan terhadap peperangan. Peperangan masa depan adalah peperangan informasi, network-centric warfare, Komado dan Kendali terintegrasi yang semuanya berbasis tehnologi informasi yang bermuara pada Keamanan Nasional. Negara-negara diseluruh dunia saat ini telah melakukan revolusi tempur karena tindakan ini bukan semata-mata untuk melakukan pertempuran secara konvensional namun telah terjadinya pergeseran yang sangat besar dalam bidang kemiliteran, sehingga negara tersebut tahu bagaimana mereka akan melakukan tindakan untuk kepentingan keamanan nasionalnya. Sedangkan negara lain seperti Belanda, Australia, Selandia Baru, RRC, Singapura, Rusia dan Jerman telah melakukan riset yang mendalam tentang Revolusi Tempur dan hasilnya melakukan perubahan dibidang infrastruktur dan organisasi militernya.[9]

c. Hasil analisis pengambilan keputusan dalam konsep organisasi militer dan perujudan bidang kesenjataan pada setiap negara mana pun memerlukan angkatan bersenjata yang kuat dan efektif untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatannya. Hal itu pun berlaku dalam era globalisasi yang mendekatkan negara satu dan lainnya. Untuk itu pemerintah dan rakyat negara itu menyusun angkatan bersenjata yang diperlukan. Angkatan bersenjata terwujud dari kombinasi yang tepat dan harmonis dari unsur manusia atau personil dengan peralatan serta persenjataan atau materiil. Baik unsur personil maupun unsur materiil perlu dalam kondisi yang baik agar dapat menghasilkan kemampuan pertahanan yang diperlukan. Namun demikian, unsur personil masih lebih penting dijamin mutunya karena ialah yang menggunakan dan mengendalikan unsur materiil. Ada yang mengatakan bahwa satu saat tidak diperlukan unsur personil ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian maju sehingga segala gerak dan jalan unsur materiil dapat dilakukan dengan peran robot. Akan tetapi hal itu masih akan jauh sekali terjadi.

d. Hasil analisis pengambilan keputusan dalam konsep strategi militer dan paradigma harus selalu diusahakan untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, khususnya yang bersangkutan dengan dunia pertahanan. Seperti yang terjadi saat perkembangan Revolution of Military Affairs (RMA) di AS, dimana perang dingin antara AS dengan Uni Soviet masing-masing mengerahkan seluruh kekuatan dan perkembangan yang terjadi pada teknologi informasi, utamanya AS berhasil yang memainkan peranannya sehingga besar dampaknya pada dunia pertahanan. Strategi “Hi Tech“ dipadukan dengan RMA untuk dimanfaatkan berkembangnya penggunaan senjata biologi yang amat berbahaya, dalam menghadapi lawannya, hal ini menjadikan suatu kerahasiaan mengapa dan bagaimana Uni Soviet sebagai negara adikuasa dapat ambruk tanpa terjadi sengketa militer dan penggunaan berbagai senjata nuklir, thermonuklir, kimia dan biologi yang mematikan dan berbahaya.

e. Hasil analisis pengambilan keputusan kebijakan sishanta dalam konsep strategi militer, paradigma, doktrin dan kebijakan pemerintah Indonesia selain mengandalkan kekuatan pertahanan, Negara Indonesia sangat menjunjung tinggi kekuatan rakyat diantaranya meliputi Pasukan Perlawanan Rakyat (Wanra) yang telah dilakukan semenjak perjuangan merebut kemardekaan dikembangkan sesuai perkembangan jaman, dengan konsep kerakyatan terlatih maka sekalipun berstatus sipil mereka harus mendapat pendidikan seperlunya. Latihan itu diadakan di setiap kecamatan dengan dipimpin seorang Bintara Tinggi, dibantu Bintara lainnya. Diadakan koordinasi oleh Perwira Distrik Militer, Perwira TNI lainnya yang bertanggung jawab atas fungsi territorial, Komando Garnisun Tetap di setiap Kabupaten. Pendidikan Wanra penting bagi pelaksanaan fungsi pertahanan yang harus dilakukan negara, tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk kemajuan kehidupan masyarakat. Pendidikan ini membangun sikap dan hidup berdisiplin warga masyarakat, namun juga harus membuatnya sadar akan kewajibannya membantu warga masyarakat menghadapi berbagai persoalan. Latihan Wanra hakekatnya tidak boleh sekali-kali menjauhkan warga yang dilatih dari linkungan masyarakatnya, justru sebaliknya menonjolkan pengabdiannya, hal ini penting sekali untuk persiapan pertahanan wilayah, karena dalam konsep itu tentara dan seluruh kekuatan bersenjata harus dekat dengan rakyat (seperti ikan dalam air, sesuai kata bijak Panglima Besar Sudirman). Di samping itu diadakan latihan untuk membuat anggota Wanra sanggup melakukan aksi gerilya melawan musuh. Dengan demikian berarti kecakapan menembak dan bertempur dalam kesatuan kecil, para unsur anggota Wanra adalah warga negara sipil dan karena itu berada dalam wewenang para Camat, karena latihan itu juga memberikan manfaat langsung bagi kecamatan, maka pembiayaan latihan menjadi tanggungjawab kecamatan. Peran Bintara Tinggi dan pembantunya adalah sebagai bantuan. Latihan Wanra tidak perlu dilakukan

sekaligus selesai, melainkan dapat dibagi dalam pentahapan, yaitu diadakan sehari atau dua hari dalam seminggu. Yang mengikuti latihan tersebut adalah mereka yang ditetapkan oleh Kepala Kecamatan. Penggunaan kekuatan Wanra di masa perang sangat berarti yang difungsikan untuk bertugas tempur memiliki status kombatan yang diperlakukan dalam status itu sesuai hukum internasional.

f. Konsep hasil analisis pengambilan keputusan kebijakan anggaran dalam konsep strategi militer, paradigma, doktrin dan kebijakan pemerintah Indonesia, salah satu diantaranya tentang paradigma perang atau konflik masa kini adalah meraih kemenangan dengan biaya minimum (to gain victory at minimum cost). Paradigma ini merupakan antites terhadap attrition warfare yang di Indonesia masih memiliki banyak organisasi yang menggunakannya, untuk meraih kemenangan dengan biaya minimum, salah satu cara yang ditempuh adalah memaksimalkan efek dari major operations dan atau kampanye militer, kemudian lahir konsep effect-based operations (EBO). EBO dapat dipastikan mempunyai keterkaitan dengan revolution in military affairs (RMA), oleh karena itu untuk bisa melaksanakan EBO, diperlukan penggunaan beragam sistem senjata berteknologi maju dan daya rusak yang lebih mematikan yang merupakan buah dari RMA. EBO juga harus ditunjang oleh network-centric warfare, sebab perang atau konflik masa kini sudah berubah dari battlefield menjadi battlespace. Sasaran yang harus dihancurkan atau dinetralisasi dalam perang atau konflik masa kini sangat banyak, sebab center of gravity (COG) lawan sudah meluas dan tidak terbatas pada organisasi militer atau infrastruktur semata, tetapi juga pada kepemimpinan nasional. Dengan dihancurkannya atau dinetralisasinya COG lawan, diharapkan akan mempengaruhi cara bertindak lawan selanjutnya. Apabila cara bertindak lawan sesuai dengan yang kita harapkan, berarti tujuan dari EBO tercapai.[10]

Konsep effect-based operations (EBO) sebagai salah satu alat bantu untuk mencapai strategic objective yaitu strategi perang yang didukung oleh penggunaan biaya perang sebagai anggaran “unlimited” dan sistem senjata yang canggih nan modern. Pihak yang menggunakan EBO adalah yang bertempur dengan salah satu andalannya yaitu senjata yang lebih mematikan. Sedangkan pihak yang bertempur cuma mengandalkan dengan senjata terbatas (tanpa aset kekuatan laut dan udara) dapat dipastikan tidak akan pernah bisa menerapkan EBO. EBO hanya bisa di-exercise oleh pihak yang bertempur menggunakan senjata konvensional lengkap, dana yang besar, bukan oleh pihak yang hanya menggunakan senjata terbatas.

g. Konsep hasil analisis pengambilan keputusan kebijakan anggaran dalam konsep strategi militer melalui konsep effect-based operations yang diterapkan, maka setiap kehadiran unsur-unsur kapal perang dituntut untuk mampu menimbulkan efek terhadap pihak lain. Hal itu merupakan suatu tantangan bagi TNI Angkatan Laut, bagaimana suatu alutsista lama mampu menimbulkan efek yang dimaksud. Secara teknis masalah alutsista lama pada umumnya terkait dengan ke-andalan kinerja sistem senjata beserta pendukungnya, yang terkait erat dengan ketersediaan anggaran pemeliharaan dan ketersediaan suku cadang. Apabila hal tersebut dapat diatasi, tidak diragukan bahwa alutsista lama masih mampu untuk menimbulkan efek seperti yang diharapkan. Agar dapat menimbulkan efek, penerapan konsep effect-based operations hendaknya mempertimbangkan pula tempat penyebaran kekuatan. Dengan keterbatasan anggaran, dipandang perlu untuk secara selektif mempertahankan atau bahkan meningkatkan kehadiran di perairan-perairan tertentu tanpa mengesampingkan wilayah perairan lainnya. Parameter yang digunakan untuk memberikan perhatian khusus terhadap perairan-perairan tertentu adalah tantangan keamanan maritim dan pertimbangan geopolitik.

h. Konsep hasil analisis pengambilan keputusan kebijakan anggaran dalam membangun postur TNI sekarang ini dapat diukur dengan tiga parameter, yaitu: dominant manuver, precision engagement, focused logistic. Namun pada tahun ini, situasinya menjadi lebih sulit lagi ketika pemerintah, menambah pemotongan dengan memperkecil anggaran sebesar 10 kali lagi , yang sudah pasti akan membawa dampak strategis (strategic loss) yang perlu diantisipasi. Namun ada beberapa pedekatan yang dapat digunakan untuk menyikapi situasi sekarang ini, yaitu: teori dasar strategi, revolution in military affairs (RMA), effect-based operation (EBO), dan capability-based planning (CBP)

5. Penutup.

a. Kesimpulan.

1) Dengan keterbatasan anggaran negara untuk menyiapkan postur yang ideal bagi kemampuan personel militer Indonesia, menuntut improvisasi dari para perwira muda untuk tidak berhenti belajar dan berkreasi. Pemulihan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat menjadi prioritas pemerintah untuk meningkatkan kemakmuran bangsa Indonesia. Karena bila anggaran pertahanan dinaikkan maka akan berpengaruh terhadap anggaran bidang kesehatan dan pendidikan. Secara alami bila ingin meningkatkan profesionalisme bidang apapun maka akan bermuara pada tuntutan dana anggaran untuk pembinaan penyiapkan personel yang profesional. Kematangan dan kedewasaan berpikir dari pribadi personel militer harus dikedepankan untuk mendukung kemanunggalan dengan rakyat. Sehingga tidak ada kata terlambat untuk tetap mencurahkan perhatian untuk meningkatkan kemampuan dibidang militer.

2) Meskipun negara Indonesia memahami bahwa investasi untuk membuat infrastrukturnya sangat mahal. Namun keniscayaan terhadap ancaman dan melindungi kepentingan nasional menuntut TNI harus lebih profesional dan konsisten dalam penerapan RMA. Hal ini harus dipahami oleh para perwira militer Indonesia bahwa Revolusi Tempur telah memunculkan dimensi lain yaitu teknologi informasi yang ”ekstrim” untuk kemampuan didarat, laut dan udara.

3) Tolok ukur yang utama adalah pengetahuan tentang Revolution in Military Affairs (RMA), nyatanya membawa pengaruh kepada banyak pihak. Dan pada umumnya menerapkan pengetahuan tersebut sebagai bagian dari program perubahan jajaran militer ketataran yang lebih baik, lebih siap, dan terukur. Adalah benar bahwa acuan pertama yang ditinjau RMA adalah teknologi, yang akan mempengaruhi doktrin dan organisasi operasional. Secara garis besar, keterkaitan satu elemen dengan elemen lainnya, dapat dipetakan sebagai berikut: Benar bahwa acuan awalnya adalah aspek teknologi, akan tetapi banyak pihak me-ngembangkan RMA sesuai dengan kondisi nyata yang dihadapi, misalnya keterbatas-an finansial. Situasi tersebut memaksa kepada jajaran militer untuk mencari solusi, dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas, dengan meninjau doktrin dan organisasi operasional.

b. Saran.

1) Pemerintah perlu mengutamakan faktor nggaran yang lebih besar dalam Operasi mandiri yang digelar oleh TNI dengan pengembangan Revolution in Military Affairs (RMA) merupakan prioritas utama dalam menjaga keamanan di NKRI guna menunjang kemampuan pertahanan yang dapat berdampak strategis dimana akan membawa pada efek penangkalan dengan menunjukan TNI yang profesional dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat di dalam negeri maupun dimata dunia internasional.

2) Perlu adanya program pengembangan kekuatan pertahanan secara bertahap, berkelanjutan dan berkesinambungan mulai dari lima tahunan kedepan, Blue Print pengembangan kekuatan sampai dengan 2013 dan Rancangan Postur TNI tahun 2009 sampai dengan tahun 2028.

6. Alur Pikir (terlampir)

7. Analisa Metode AHP.

BIASA

(terlampir)

Jakarta, April 2009

Sigit Karyadi, SH

BIASA

BIASA

BIASA

MAYOR CPL NRP 11930093111170



[1] Si Vis Pacem Para Bellum (51), Sayidiman Suryohadiprojo, Satrio Arism, (Alvin & Herdi Toffler, War and Anti-War, Canada 1993)

[2] Tim Benbow, (2004). The Magic Bullet: Understanding The ‘RMA’, Brassey’s,. Elianor C. Sloan (2002). The Revolution in Military Affairs Implication for Canada & NATO, McGill-Queen’s University Press. Alvin & Heidi Toffler (1993). War & Anti-War, Little Brown & Company.

[3] Ibid.

[6] Pembinaan pendidikan TNI dlm Era Globalisasi,Sayidiman Suryohadiprojo,Letjen.TNI(Purn),Jakarta 6 maret 2006

[7] Pembinaan pendidikan TNI dlm Era Globalisasi,Sayidiman Suryohadiprojo,Letjen.TNI(Purn),Jakarta 6 maret 2006

[8] Nezar Patria, Nasionalisme Indonesia: Proyek Bersama yang Belum Selesai, 2007.

[10] file:///detik.com/RMA ,feb 2009.htm,,strategic objective kebijakan pertahanan.